hadits abu sa id al khudri

dariAbu Sa'id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mandi pada hari Jum'at hukumnya wajib bagi setiap orang yang telah mimpi basah (akil baligh)." (H.R.Ahmad)—— Dalam Hadis ini mandi Jum'at diperintahkan dengan pernyataan yang mengesankan bahwa hal itu adalah keharusan. dieksposhanyalah hadits-hadits larangan menulis, seperti sabda Nabi saw. Dinarasikan Abu Sa'id al-Khudri ra., Rasulullah saw. bersabda: Janganlah anda menulis haditsku, barangsiapa yang menulis tentang haditsku walaupun secuil selain daripada penulisan Al- Qur'an, maka hendaknya ia memusnahkan tulisan hadits itu.(HR. Muslim). Daftarisi Biografi Sahabat Abu Sa'id Al-Khudri. 1. Riwayat Hidup 1.1 Lahir 1.2 Wafat. 2. Kisah-kisah 2.1 Baiat Langsung dengan Rasulullah SAW 2.2 Mengikuti 12 Kali Peperangan. 3. Penerus 3.1 Murid. 4. Referensi. Abu Sa'id Al-Khudri adalah orang ke tujuh yang banyak meriwayatkan hadis dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. AbuSa'id yang terdapat dalam sanad hadis ini bukanlah Abu Sa'id ibnul Mala seperti yang diduga oleh Ibnul Asir di dalam kitab Jami'ul Usul-nya dan orang-orang yang mengikuti pendapatnya. dari Muhammad ibnu Ma'bad, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa ketika kami berada dalam suatu perjalanan. tiba-tiba datanglah AlKhatib juga menyatakan bahwa Abu Said termasuk dalam jajaran sahabat yang utama dan memiliki banyak hafalan hadits. Ya, Abu Sa'id Al-Khudri adalah orang ketujuh dari jajaran sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau telah meriwayatkan sebanyak 1.170 hadits. nhu cầu sinh lý của mẹ đơn thân. Publicação de Ibrahim Iddrisu, Economics teacher at Ghana Education Service 1 sem Hadith of the Day Hadith Abu Sa'id Al Khudri Radiyallahu 'anhu narrates that he heard Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam saying When the slave of Allah enters into Islam and the beauty of Islam comes into his life, every evil deed that he had committed previously is forgiven by Allah. Thereafter, starts the settlement of acconts, the reward of a good deed is ten times to seven hundred times and the punishment for an evil deed is equivalent to it unless Allah overlooks it. Bukhari 41 Note The beauty of Islam comes into life means that one's heart should be illuminated with Iman and the body should be dedicated in obedience to Allah Subhanahu wa Ta'ala. May Allah cause us to die whiles in the state of Islam... Mais deste autor Abu Said al-Khudri radhiallahu anhu adalah salah seorang ulamanya para sahabat. Ia termasuk seorang Anshar yang paling banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Bahkan termasuk yang terbanyak riwayatnya di antara sahabat lainnya. Nasabnya Nama dan nasab Abu Said al-Khudri adalah Saad bin Malik bin Sinan bin Ubaid bin Tsa’labah al-Abjar -Abjar adalah Khudrah- bin Auf bin al-Harits bin al-Khazraj al-Anshari al-Kahzraji. Yang masyhur dengan kun-yah Abu Said al-Khudri. Masa Rasulullah Abu Said bercerita, “Rasulullah datang kepada kami. Kami adalah orang-orang biasa bukan tokoh dari kalangan kaum muslimin. Aku kira Rasulullah tidak mengenal salah seorang dari kami. Sebagian dari kami hampir-hampir tak berpakaian. Rasulullah mengisyaratkan bentuk lingkarangan dengan tangannya. Beliau bersabda, “Dengan apa kalian saling mengingatkan?” Mereka menjawab, “Ini ada seseorang yang membacakan Alquran kepada kami dan mendakwahi kami.” Beliau berkata, “Serulah! Mengapa kalian bersamanya.” Kemudian beliau berkata, “Segala puji bagi Allah yang menjadikan untuk umatku seseorang yang aku perintahkan untuk bersama mereka.” Beliau melanjutkan, “Berilah kabar gembira pada orang-orang beriman yang miskin bahwa mereka akan lebih dahulu masuk surge dibanding orang-orang kaya pada hari kiamat kelak dengan lama 500 tahun lebih awal. Mereka berada di dalam surga dan menikmati kenikmatannya. Sementara orang-orang kaya masih dihisab.” HR. Abu Dawud. Masa Para Sahabat Saat orang-orang membaiat Yazid bin Muawiyah, cucu Nabi, Husein bin Ali radhiallahu anhuma tidak membaiatnya. Mendengar kabar tersebut, orang-orang Kufah mengirimi Husein surat. Mengajaknya untuk datang ke Kufah. Awalnya Husein menolak. Kemudian mereka mengajak Muhammad bin al-Hanafiyah saudara seayah dengan Husein bin Ali. Beliau pun menolak. Mereka kembali membujuk Husein, Husein berkata, “Sesungguhnya mereka ini hendak memangsa kita dan bersemangat mengucurkan darah kita.” Bujukan dan godaan orang-orang kufah ini membuat Husein risau. Terkadang beliau merasa condong kepada mereka. Terkadang ia tidak ingin keluar. Kemudian datanglah Abu Said al-Khudri, ia berekata, “Hai Abu Abdullah kun-yah Husein, sungguh aku termasuk pemberi nasihat untuk Anda. Aku adalah orang yang menyayangimu. Sampai kabar padaku bahwa para pendukungmu di Kufah mengirimimu surat. Mereka mengajakmu menuju mereka. Jangan kau keluar! Sungguh aku mendengar ayahmu saat di Kufah, ia berkata, “Demi Allah, aku telah membuat mereka bosan dan marah. Mereka pun membuatku bosan dan marah. Tidak kudapati sifat memenuhi janji pada mereka. Siapa yang selamat dari mereka, dia telah selamat dari panah yang jelek. Demi Allah, tidak ada keteguhan dan ketetapan hati dalam suatu urusan. Tidak ada kesabaran pada mereka saat menghadapi pedang.” Masa Tabi’in Pada saat terjadi kekacauan di Kota Madinah, Abu Said al-Khudri keluar dan bersembunyi di sebuah goa. Ia disusul oleh seorang pasukan Syam. Kata Abu Said, “Saat ia melihatku, ia hunus pedangnya menginginkanku. Saat ia dekat denganku, ia arahkan pedangnya padaku. Kutahan pedangku. Dan kubaca firman Allah, إِنِّي أُرِيدُ أَنْ تَبُوءَ بِإِثْمِي وَإِثْمِكَ فَتَكُونَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ “Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan membawa dosa membunuhku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim”. [Quran Al-Maidah 29] Mendengar hal itu, ia bertanya, “Siapa Anda?” “Aku Abu Said al-Khudri”, jawabku. “Sahabatnya Rasulullah?” tanyanya. “Iya”, jawabku. Ia pun berlalu dan meninggalkanku. Riwayat Abu Said – Dari Ismail bin Raja bin Rabi’ah dari ayahnya. Ia berkata, “Kami bersama Abu Said al-Khudri saat ia sedang sakit yang mengantarkannya pada wafat. Ia mengalami pingsan. Kemudian saat tersadar, kami berkata padanya, Shalat, Abu Said’. Ia berkata, Kafan’. Abu Bakr perwari berkata, Ia menginginkan kafan. Kemudian ia menyebutkan beberapa hadits yang ia riwayatkan dari Nabi’.” – Terdapat suatu riwayat حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي صَعْصَعَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الْجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنْ الْفِتَنِ “Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Sha’Sha’ah dari bapaknya dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Hampir saja terjadi suatu zaman harta seorang muslim yang paling baik adalah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi menghindar dengan membawa agamanya disebabkan takut terkena fitnah”.” HR. Al-Bukhari. – Abu Said al-Khudri meriwayatkan sebuah hadits يَدْخُلُ أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ، وَأَهْلُ النَّارِ النَّارَ، ثُمَّ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى أَخْرِجُوْا مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ مِنْ إِيْمَانٍ، فَيُخْرَجُوْنَ مِنْهَا قَد ِاسْوَدُّوا فَيُلْقَوْنَ فِي نَهْرِ الْحَيَاءِ -أَوِ الْحَيَاةِ، شَكَّ مَالِكٌ- فَيَنْبُتُوْنَ كَمَا تَنْبُتُ الْحَبَّةُ فِي جَانِبِ السَّيْلِ، أَلَمْ تَرَ أَنَّهَا تَخْرُجُ صَفْرَاءَ مُلْتَوِيَةً؟ “Setelah penghuni Surga masuk ke Surga, dan penghuni Neraka masuk ke Neraka, maka setelah itu Allah pun berfirman Keluarkan dari Neraka orang-orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi iman!’ Maka mereka pun dikeluarkan dari Neraka. Hanya saja tubuh mereka sudah hitam legam bagaikan arang. Lalu mereka dimasukkan ke sungai kehidupan, maka tubuh mereka tumbuh berubah, sebagaimana tumbuhnya benih yang berada di pinggiran sungai. Tidakkah engkau perhatikan, bahwa benih itu tumbuh berwarna kuning dan berlipat-lipat?” HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu. – Abu Said juga meriwayatkan sebuah hadits حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ صَالِحٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ يُعْرَضُونَ عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ مِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثُّدِيَّ وَمِنْهَا مَا دُونَ ذَلِكَ وَعُرِضَ عَلَيَّ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجُرُّهُ قَالُوا فَمَا أَوَّلْتَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الدِّينَ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaidillah berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa’d dari Shalih dari Ibnu Syihab dari Abu Umamah bin Sahal bin Hunaif bahwasanya dia mendengar Abu Said Al Khudri berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda “Ketika aku tidur, aku bermimpi melihat orang-orang dihadapkan kepadaku. Mereka mengenakan baju, diantaranya ada yang sampai ke buah dada dan ada yang kurang dari itu. Dan dihadapkan pula kepadaku Umar bin Al Khaththab dan dia mengenakan baju dan menyeretnya. Para sahabat bertanya “Apa maksudnya hal demikian menurut engkau, ya Rasulullah?” Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab “Ad-Din agama.” HR. Al-Bukhari. – Riwayat berikutnya عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَتِ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ, فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ. فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيْهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ, فَكَانَ فِيْمَا قَالَ لَهُنَّ مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلاَثَةٌ مِنْ وَلَدِهَا إِلاَّ كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنَ النَّارِ. فَقَالَتِ امْرَأَةٌ وَاثْنَيْنِ؟ فَقَالَ وَاثْنَيْنِ. Dari Abu Sa’id al-Khudri menceritakan bahwa sejumlah para wanita berkata kepada Nabi “Kaum lelaki lebih banyak bergaul denganmu daripada kami, maka jadikanlah suatu hari untuk kami”. Nabi menjanjikan mereka suatu hari untuk bertemu dengan mereka guna menasehati dan memerintah mereka. Diantara sabda beliau saat itu “Tidak ada seorang wanitapun yang ditinggal mati oleh tiga anaknya kecuali akan menjadi penghalang baginya dari neraka”. Seorang wanita bertanya “Bagaimana kalau Cuma dua?”. Nabi menjawab “Sekalipun Cuma dua” HR. Al-Bukhari. Al-Khatib al-Baghdadi berkata tentang Abu Said al-Khudri, “Dia termasuk sahabat yang paling utama dan penghafal hadits yang banyak.” Wafat Ada beberapa pendapat tentang tahun wafat Abu Said al-Khudri. Ada yang mengatakan beliau wafat tahun 74 H. Ada pula yang mengatakan 64 H. Al-Madaini mengatakan, “Ia wafat tahun 63 H”. Sedangkan al-Askari mengatakan, “Ia wafat tahun 65 H.” Semoga Allah meridhainya. Diterjemahkan dari Oleh Nurfitri Hadi nfhadi07 Artikel KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI +62813 26 3333 28 Nama Sa'ad bin Malik bin Sinan bin 'Ubaid Hadits yang di Riwayatkan Kalangan Shahabat Imam Bukhari 196 Nasab Al-Khudri Al Anshariy Imam Muslim 208 Kauniyah Abu Sa'id Imam Abu Dawud 128 Negeri Hidup Madinah Imam at Tirmidzi 154 Negri Wafat Madinah Imam an Nasa'i 143 Tahun Wafat 74 H Imam Ibnu Majah 158 Imam Ahmad 986 Imam Malik 24 Komentar Ulama Imam Darimi 69 Shahabat Hadits yang diriwayatkan Abu Sa’id Al-Khudri adalah orang ke tujuh yang banyak meriwayatkan hadist dari Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. Telah meriwayatkan hadits. Orang orang pernah memintanya agar mengizinkan mereka menulis hadits hadits yang mereka dengar darinya. Ia menjawab “ Jangan sekali kali kalian menulisnya dan jangan kalian menjadikan sebagai bacaan, tetapi hapalkan sebagaimana aku menghapalnya”. Abi Sa’id lebih dikenal dengan nama aslinya adalah Sa’ad bin Malik bin Sinan. Ayahnya Malik bin Sinan syahid dalam peperangan Uhud, Ia seorang Khudri nasabnya bersambung dengan Khudrah bin Auf al-Harits bin al-Khazraj yang terkenal dengan julukan “Abjar”. Ketika perang Uhud pecah, ayahnya malik membawanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dan meminta agar anaknya diikutkan dalam peperangan. Pada waktu itu Jabir masih berusia 13 tahun, namun ayahnya menyanjung kekuatan tubuh anaknya” Dia bertulang besar ya Rasulullah” tetapi, Rasulullah tetap menganggapnya masih kecil dan menyuruh membawanya pulang. Abu Sa’id al-Khudri adalah salah seorang diantara para sahabat yang melakukan bai’at kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam mereka berikrar tidak akan tergoyahkan oleh cercaan orang dalam memperjuangkan agama Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka tergabung dalam kelompok Abu Dzarr al-Ghifari, Sahl bin Sa’ad, Ubaidah bin ash Shamit dan Muhammad bin Muslimah. Abu Sa’id al-Khudri bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam dalam perang Bani Musthaliq, perang Khandaq dan perang perang sesudahnya, secara keseluruhan ia mengikuti 12 kali peperangan. Riwayatnya dari para sahabat lain banyak sekali namun sumber yang paling terkenal adalah bapaknya sendiri Malik bin Sinan, saudaranya seibu Qatadah bin an-Nu’man, Abu Bakan, Umar, Utsman, Ali, Abu Musa al-Asy’ari, Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Salam. Sedangkan orang orang yang meriwayatkan hadits darinya adalah anaknya sendiri Aburahman, istrinya Zainab bin Ka’ab bin Ajrad, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abu Thufail, Nafi’ dan Ikramah. Abu sa’id membawa putranya Abdurahman ke tanah pemakaman Baqi, dan berpesan agar ia nanti dimakamkan di bagian jauh dari tempat itu. Katanya “ Wahai anakku, apabila aku meninggal dunia kelak, kuburkanlah aku disana, Jangan engkau buat tenda untuk, jangan engkau mengiringi Jenazahku dengan membawa api, Jangan engkau tangisi aku dengan meratap-ratap, dan jangan memberitahukan seorangpun tentang diriku”. Kemudian ia beliau wafat pada tahun 74 H Disalin dari Biografi Abu Sa’id dalam Tahdzib at Tahdzib 3/49 FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL Nomor 05/DSN-MUI/IV/2000TentangJual Beli Salamبِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِDewan Syari’ah Nasional setelah Menimbang bahwa jual beli barang dengan cara pemesanan dan pembayaran harga lebih dahulu dengan syarat-syarat tertentu, disebut dengan salam, kini telah melibatkan pihak perbankan; bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang salam untuk dijadikan pedoman oleh lembaga keuangan syari'ah. Mengingat Firman Allah QS. al-Nisa' [4] 29يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ... “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan mengambil harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5] 1 يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ … “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …”. Hadis Nabi SAW. عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيْ رضي الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ، رواه البيهقي وابن ماجه وصححه ابن حبان Dari Abu Sa'id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban. Hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Nabi bersabda مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِيْ كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ. "Barang siapa melakukan salaf salam, hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui" HR. Bukhari, Shahih al-Bukhari [Beirut Dar al-Fikr, 1955], jilid 2, h. 36 Hadis Nabi riwayat jama'ah مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ ... "Menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman ..." Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ "Menunda-nunda pembayaran yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya." Hadis Nabi riwayat Tirmidzi اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا رواه الترمذي عن عمرو بن عوف. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” HR. Tirmidzi dari Amr bin Auf. Ijma. Menurut Ibnul Munzir, ulama sepakat ijma’ atas kebolehan jual beli dengan cara salam. Di samping itu, cara tersebut juga diperlukan oleh masyarakat Wahbah, 4/598. Kaidah fiqh اَلأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا. “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Memperhatikan Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./4 April 2000. MEMUTUSKAN Menetapkan FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM Pertama Ketentuan tentang Pembayaran Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat. Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang. Kedua Ketentuan tentang Barang Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang. Harus dapat dijelaskan spesifikasinya. Penyerahannya dilakukan kemudian. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. Ketiga Ketentuan tentang Salam Paralel السلم الموازي Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat, akad kedua terpisah dari, dan tidak berkaitan dengan akad pertama. Keempat Penyerahan Barang Sebelum atau pada waktunya Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga diskon. Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya, menunggu sampai barang tersedia. Kelima Pembatalan Kontrak Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak. Keenam Perselisihan Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Ditetapkan di Jakarta Tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H 4 April 2000 M DEWAN SYARI'AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA KetuaProf. Ali Yafie SekretarisDrs. H. A Nazri Adlani Konten diambil dari situs HAK-HAK JALANOleh Ustadz Arif Syarifuddin LcAbu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu anhu berkata, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ عَلَى الطُّرُقَاتِ، فَقَالُوا مَا لَنَا بُدٌّ إِنَّمَا هِيَ مَجَالِسُنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا، قَالَ فَإِذَا أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجَالِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهَا، قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ، قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيٌ عَنْ الْمُنْكَرِ.“Janganlah kalian duduk-duduk di tepi jalanan,” mereka para sahabat berkata,”Sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang.” Beliau berkata,”Jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk, maka berilah hak jalan tersebut,” mereka bertanya,”Apa hak jalan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,”Menundukkan membatasi pandangan, tidak mengganggu menyakiti orang, menjawab salam, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”. Takhrij Hadits Muttafaun alaihi. Hadits ini diriwayatkan oleh al Bukhari dalam Shahih-nya di kitab Fathul Bari di kitab al Mazhalim wal Ghashab, hadits no. 2465 dan di kitab al Isti’dzan, hadits no. 6229; Muslim dalam Shahih-nya dengan syarah an Nawawi di kitab al Libaas waz Ziinah, hadits no. 2121 dan di kitab as Salam, hadits no. Perawi Hadits Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu anhu. Beliau bernama Sa’ad bin Malik bin Sinan bin Ubaid dari Bani Khudrah -al Abjar- bin Auf al Khazraji al Anshari, lebih dikenal dengan sebutan Abu Sa’id al Khudri. Dilahirkan di kota Madinah. Beliau dan ayahnya termasuk sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang saat terjadi peperangan Uhud, beliau masih kecil, sehingga tidak dapat ikut serta dalam peperangan, namun ayahnya, Malik bin Sinan mengikutinya dan mati syahid dalam peperangan perang Uhud, beliau ikut berperang bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam 12 peperangan dimulai dari perang Khandak. Beliau salah satu ulama dan fuqaha para sahabat, banyak mendengar dan meriwayatkan hadits dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan dari beberapa sahabat wafat di Madinah pada tahun 74 H, atau ada pula yang menyebutkan beliau wafat 10 tahun sebelumnya, yaitu antara tahun 63-65H. Wallahu a’lam.[1]Makna Hadits Secara Ringkas Suatu saat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berjalan melewati beberapa orang sahabat yang sedang duduk-duduk di pekarangan rumah salah seorang dari mereka. Di antara mereka adalah Abu Thalhah Radhiyallahu anhu, lalu beliau Shallallahu alaihi wa sallam menegur mereka agar tidak melakukan hal itu. Namun para sahabat menyampaikan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , bahwa mereka perlu duduk-duduk untuk memperbincangkan suatu urusan. Lalu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam berpesan kepada mereka, bahwa jika memang hal itu diperlukan dan tidak bisa ditinggalkan, maka mereka wajib memenuhi hak-hak orang lain yang melewati mereka, di antaranya yang disebutkan dalam hadits ini ada empat macam hak, yaituMenundukkan membatasi pandangan dari melihat para wanita yang bukan mahramnya yang melewatinya atau hal-hal yang diharamkanTidak mengganggu menyakiti orang dengan ucapan maupun salamMemerintahkan manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari perbuatan Hadits Al Imam an Nawawi berkata,”Hadits ini banyak mengandung pelajaran yang penting dan termasuk di antara sederetan hadits-hadits jami’ yang ringkas tetapi penuh makna, lagi jelas hukum-hukumnya.”[2]Penjelasan dan Faidah-Faidah HaditsKata-kata إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوْسَ… metode seperti ini, biasanya digunakan untuk memberi peringatan sebagai perintah agar menjauhi sesuatu yang buruk dan maknanya sama dengan melarangnya. Jadi maknanya adalah “jauhilah oleh kalian hal tersebut” atau “janganlah kalian melakukan hal itu”. Seperti dalam sebuah hadits Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda إِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ[3] yang artinya, “jauhilah perkataan dusta” atau “janganlah kalian berdusta”.Tapi apakah suatu perintah itu harus berarti wajib, atau apakah suatu larangan harus berarti haram? Kita akan simak jawabannya pada penjelasan berikutnya dalam tulisan الطُّرُقَات adalah bentuk jamak dari الطُّرُق, sedangkan الطُّرُق adalah bentuk jamak dari الطَّرِيق yang artinya adalah Imam al Bukhari menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini di kitab al Mazhalim dengan ungkapan الصُّعُدَات guna menunjukkan kesamaan makna antara keduanya. Hal itu dikuatkan oleh hadits Abu Thalhah Radhiyallahu anhu dalam Shahih Muslim, hadits no. 2161 ketika Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengungkapkan dengan kata الصُّعُدَات dan Imam Muslim menyebutkannya dalam judul bab untuk hadits ini di kitab as Salam dengan kata الطَّرِيقِ.Kemudian Imam al Bukhari -dalam judul bab yang sama di kitab al Mazhalim– menyebutkan kata أَفْنِيَة الدُّورِ, yang artinya adalah pekarangan halaman rumah, guna menunjukkan kesamaan hukumnya dengan jalanan selama pekarangan atau halaman rumah tersebut terbuka dan biasa dilewati oleh orang banyak.Dan itu didukung dengan hadits Abu Thalhah Radhiyallahu anhu dalam riwayat Muslim, ketika Abu Thalhah Radhiyallahu anhu berkataكُنَّا قُعُودًا بِالأَفْنِيَةِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللهِ e فَقَالَ مَالَكُمْ وَلِمَجَالِسِ الصُّعُدَاتِ“Ketika kami sedang duduk-duduk di halaman pekarangan rumah, lalu datanglah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kemudian berkata,’Kenapa kalian duduk-duduk di tepi jalanan?’.”Sa’id bin Manshur menambahkan –dengan menukil- dari Mursal Yahya bin Ya’mur ungkapan berikutفَإِنَّهَا سَبِيلٌ مِنْ سُبُلِ الشَّيْطَانِ أَوِ النَّارِSesungguhnya tepi jalanan itu adalah salah satu dari jalan-jalan setan atau neraka. Lihat Fathul Bari, 11/12-13.Itulah alasan kenapa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melarang mereka duduk-duduk di tepi jalanan atau pula warung-warung dan balkon-balkon yang tinggi yang berada di atas orang-orang yang lewat. Fathul Bari, 5/135.Perkataan para sahabat “sesungguhnya kami perlu duduk-duduk untuk berbincang-bincang”.Dalam riwayat Muslim hadits no. 2161 dari hadits Abu Thalhah Radhiyallahu anhu terdapat tambahan kata-kata “dan untuk saling mengingatkan menasihati”. Dan dari riwayat ini pula diketahui, bahwa yang mengucapkan perkataan tersebut adalah Abu Thalhah Radhiyallahu anhu. Lihat Fathul Bari, 5/135.Al Qadhi Iyadh berkata,”Dalam perkataan sahabat tersebut terdapat dalil yang menunjukkan, bahwa perintah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepada mereka itu tidak untuk kewajiban, melainkan bersifat anjuran dan keutamaan. Karena, kalau mereka memahaminya sebagai kewajiban, tentu mereka tidak akan merajuk kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam seperti itu. Dan hal ini dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa perintah-perintah itu tidak mengandung kewajiban.”Ibnu Hajar rahimahullah berkomentar “Namun, ada kemungkinan bahwa mereka mengharapkan adanya nasakh penghapusan hukum kewajiban tersebut untuk meringankan apa yang mereka adukan perihal keperluan mereka melakukan hal itu, dan hal ini didukung oleh apa yang tersebut dalam Mursal Yahya bin Ya’mur, di sana terdapat kata-kata maka mereka mengira bahwa hal itu merupakan keharusan kewajiban’.” Fathul Bari, 11/13.Perkataan “jika kalian tidak bisa melainkan harus duduk-duduk , maka berilah hak jalan tersebut”.Ibnu Hajar berkata,”Dari alur pembicaraan ini jelaslah, bahwa larangan duduk-duduk di tepi jalanan atau semisalnya, pen. dalam hadits ini adalah untuk tanzih yang bermakna makruh bukan haram, agar tidak mengendurkan orang yang duduk-duduk untuk memenuhi hak jalan yang wajib ia penuhi”. Fathul Bari, 5/135.Imam an Nawawi rahimahullah berkata, “… dan maksudnya adalah bahwa duduk-duduk di tepi jalanan itu dimakruhkan”. Syarh Shahih Muslim, 14/120.Perkataan “hak jalan adalah ghadhdhul bashar menundukkan pandangan, kafful adza tidak mengganggu atau menyakiti orang, menjawab salam, memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran”.Ibnu Hajar rahimahullah berkata,”Maka Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan ghadhdhul bashar menundukkan pandangan untuk mengisyaratkan keselamatan dari fitnah karena lewatnya para wanita yang bukan mahram maupun yang lainnya. Menyebutkan kafful adza tidak mengganggu atau menyakiti orang untuk mengisyaratkan keselamatan dari perbuatan menghina, menggunjing orang lain ataupun yang serupa. Menyebutkan perihal menjawab salam’ untuk mengisyaratkan keharusan memuliakan atau mengormati orang yang melewatinya. Menyebutkan perihal memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran’ untuk mengisyaratkan keharusan mengamalkan apa yang disyari’atkan dan meninggalkan apa yang tidak disyari’atkan.”Beliau melanjutkan,”Dalam hal ini terdapat dalil bagi yang berpendapat bahwa saddudz dzara-i menutup jalan menuju keburukan merupakan bentuk keutamaan saja bukan suatu kewajiban, karena dalam hadits ini, pertama kali yang Nabi Shallallahu alaihi wa sallam larang adalah duduk-duduk di tempat tersebut guna memberhentikan mereka dari hal itu. Lalu ketika para sahabat mengatakan “kami perlu duduk-duduk”, barulah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tujuan pokok dari larangan beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Sehingga diketahuilah, bahwa larangan yang pertama kali itu adalah untuk mengarahkan kepada yang lebih baik. Dari sini pula diambil kaidah, bahwa mencegah keburukan lebih diutamakan daripada mendatangkan kebaikan’.” Fathul Bari, 5/135.Imam an Nawawi rahimahullah berkata,”Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan tentang alasan larangan beliau, bahwa hal itu dapat menjerumuskan kepada fitnah dan dosa ketika ada para wanita yang bukan mahramnya atau selainnya yang melintasi mereka, dan bisa berlanjut hingga memandang ke arah wanita-wanita tersebut secara bebas, atau membayangkannya, berprasangka buruk terhadap wanita-wanita tersebut, atau terhadap setiap orang yang lewat. Dan di antara bentuk mengganggu atau menyakiti manusia adalah menghina mengejek orang yang lewat, berbuat ghibah menggunjingya atau yang lainnya, atau terkadang tidak menjawab salam mereka, tidak melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta alasan-alasan lainnya yang bila dia berada di rumah dapat selamat dari hal-hal seperti itu. Termasuk menyakiti orang lain pula bila mempersempit jalan orang-orang yang ingin lewat, atau menghalangi para wanita, atau yang lainnya yang ingin keluar menyelesaikan kebutuhan mereka dikarenakan ada orang-orang yang duduk di tepi jalanan…” Syarah Shahih Muslim, 14/120.Tentang “menundukkan menahan pandangan”, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغُضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ …..Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya …” [an Nur/24 30-31].Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut,”Yakni, bimbinglah kaum Mukminin, dan katakan kepada mereka yang memiliki iman, bahwa di antara yang dapat mencegah mereka terjatuh ke dalam perkara yang merusak iman adalah dengan menundukkan menahan pandangan mereka dari melihat aurat, para wanita yang bukan mahram dan lelaki amrad yang berparas elok, yang dikhawatirkan bisa berpotensi menimbulkan fitnah syahwat bila memandangnya. Demikian pula perhiasan dunia yang dapat memfitnah dan menjerumuskan ke dalam larangan…”Beliau juga mengatakan,”Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, Hendaklah mereka menahan pandangannya…,’ yakni dari melihat aurat, para lelaki bukan mahram dengan syahwat dan pandangan lain yang dilarang …”[4]Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Ali Radhiyallahu anhu يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُWahai Ali, jangan kamu iringi pandangan dengan pandangan lain, dibolehkan bagimu yang pertama saja sementara yang kedua tidak boleh.[5]Maksud pandangan yang pertama adalah yang tak disengaja, statusnya dimaafkan dan tak berdosa. Adapun pandangan kedua adalah yang disengaja yang kafful adza’ tidak mengganggu dan menyakiti orang -dengan ucapan maupun perbuatan-, maka merupakan salah satu ciri penting seorang muslim sejati, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِMuslim yang sempurna adalah yang kaum Muslimin selamat dari gangguan lidahnya dan tangannya. [HR Muslim dari Jabir Radhiyallahu anhu]Dan kafful adza’ termasuk salah satu bentuk akhlak bin al Mubarak, ketika mensifati tentang akhlak yang mulia, ia berkata هُوَ بَسْطُ الْوَجْهِ وَبَذْلُ الْمَعْرُوفِ وَكَفُّ الأَذَى.Yaitu bermuka manis, memberi kebaikan dan tidak mengganggu menyakiti terhadap orang lain. [Diriwayatkan oleh at Tirmidzi, hadits no. 2005].Berkaitan dengan “menjawab salam”, itu merupakan kewajiban, dan hendaknya menjawab dengan jawaban yang serupa, atau yang lebih baik sebagaimana dalam firman Allah Subhnaahu wa Ta’ala,وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَاDan jika kamu diberi suatu penghormatan salam, maka balaslah penghormatan salam itu dengan yang lebih baik, atau balaslah ia dengan yang serupa…[6] [an Nisaa/4 86].Jadi, menjawab salam adalah kewajiban seorang muslim terhadap saudaranya sesama muslim yang memberi salam kepadanya. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda حَقُّ الْمُسْلِِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلاَمِ وَ عِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَ اتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَ إِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيْتُ الْعَاطِسِHak seorang muslim atas muslim yang lain ada lima. Yaitu menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan dan mendo’akan yang bersin. [Muttafaqun alaihi, dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu]Tentang “memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar”, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkannya dalam firmanNya وَلْتَكُن مِّنْكُم أُمَّةٌ يَّدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَونَ عَنِ الْمُنكَرِ، وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَDan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Merekalah orang-orang yang beruntung. [Ali Imran/3 104].Dan di antara wasiat Luqman kepada anaknya يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَHai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah manusia mengerjakan yang baik dan cegahlah mereka dari perbuatan mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu… [Luqman/31 17].Merealisasikan amar ma’ruf nahi mungkar merupakan salah satu sebab utama diperolehnya kebaikan dan kejayaan oleh pendahulu umat ini para sahabat Radhiyallahu anhum, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِKamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah … [Ali Imran/3 110].Dari Abu Dzar Radhiyallahu anhu , bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ dan menyuruh manusia kepada yang baik adalah shadaqah, dan mencegah mereka dari perbuatan mungkar adalah shadaqah … [HR Muslim, hadits no. 1674].Demikianlah hak-hak dan adab-adab ketika seseorang duduk-duduk di tepi jalanan, atau yang semisalnya. Al Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan adab-adab atau hak-hak jalan yang lain sebagai berikut Berkata yang baik. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Thalhah Radhiyallahu anhu.[7]Memberi petunjuk jalan kepada musafir dan menjawab orang yang bersin jika dia bertahmid[8]sebagaimana terkandung dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu orang yang kesusahan dan menunjukkan jalan bagi orang yang tersesat, sebagaimana tertuang dalam hadits Umar Radhiyallahu anhu dalam riwayat Abu Dawud,[9] demikian juga dalam Mursal Yahya bin Ya’mur dan dalam riwayat al orang yang terzhalimi dan menebarkan salam, seperti dijelaskan dalam hadits al Barra’ Radhiyallahu anhu dalam riwayat Ahmad dan At orang yang membawa beban berat, sebagaimana tertuang dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu dalam riwayat al berdzikir kepada Allah, sebagaimana teriwayatkan dalam hadits Sahl bin Hanif Radhiyallahu anhu dalam riwayat ath orang yang bingung, seperti yang terpaparkan dalam hadits Wahsyi bin Harb Radhiyallahu anhu dalam riwayat Ath Ibnu Hajar mengatakan “Semua yang terdapat dalam hadits-hadits tersebut ada empat belas adab”. Fathul Bari, 11/13.Hal-hal yang tersebut di atas mengandung faidah tentang kesempurnaan Islam yang mengajarkan kepada umatnya tentang berbagai aspek kehidupan, termasuk yang berkaitan dengan hak-hak jalan dan adab-adab ketika duduk-duduk di tempat-tempat yang biasa dilewati oleh khalayak manusia. Sekaligus menunjukan, kebaikan dan keindahan ajaran Islam, yakni apabila hal-hal di atas diamalkan oleh manusia, niscaya akan mendatangkan kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan mereka di a’ Bari bi Syarhi Shahih al Bukhari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Shahih Muslim, oleh Al Imam an Abu at al Imam al Jami’ ash Shaghir, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Ishabah fi Tamyiz ash Shahabah, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Bidayah wan Nihayah, oleh al Imam Ibnu at Tahdzib, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat al Ishabah 3/66, al Bidayah wan Nihayah 9/4 dan at Taqrib, hlm. 232 urutan no. 2253. [2] Syarh Shahih Muslim, 14/86 [3] Hadits shahih, riwayat Ahmad 1/384 dan 432 dan Abu Dawud no. 4337 dari Abdullah bin Mas’ud. [4] Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir al Kalam al Mannan, tafsir QS an Nur/24 ayat 30-31 [5] HR Ahmad, Abu Dawud, at Tirmidzi, dan al Hakim dari Buraidah Radhiyallahu anhu. Dihasankan derajatnya oleh Syaikh al Albani dalam Shahih al Jami’ ash Shaghir, no. 7953 [6] Yakni, misalnya bila ada seseorang memberi salam dengan mengucapkan “assalamu’alaikum”, maka minimal, kita jawab dengan bentuk serupa, yaitu “wa’alaikumussalam”, atau dengan yang lebih baik, yaitu “wa’alaikumussalam warahmatullah”, dan seterusnya. [7] Shahih Muslim, no. 2161. [8] Yakni, bila seorang yang bersin mengucapkan “alhamdulillah”, maka yang mendengar wajib mendo’akannya dengan mengucapkan “yarhamukallah” –semoga Allah merahmatimu. [9] Hadits no. 4181.

hadits abu sa id al khudri